Oleh : Anwar Saragih (Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung)

Kepemimpinan menjadi bagian yang amat penting dalam mengatasi pandemi Covid 19 yang menginfeksi banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Melalui koordinasi kepemimpinan dari pusat ke daerah pula, semua kebijakan pemerintah terkait pencegahan dan pengendalian virus corona dilaksanakan.
Mulai dari kesiapan rumah sakit, perangkat Alat Pelindung Diri (APD), stok obat-obatan hingga dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Artinya kepemimpinan nasional hingga kepemimpinan daerah di tingkatan provinsi dan kota/kabupaten menjadi salah satu perangkat terpenting negara dalam mengatasi pandemi ini.
Tidak hanya itu, dampak sosial yang ditimbulkan karena persoalan virus corona juga menjadi tantangan tersendiri untuk diselesaikan pemimpin di daerah. Apalagi dengan maraknya diskriminasi sosial yang dihadapi oleh korban positif dan meninggal dunia yang teralineasi dari masyarakat. Utamanya para petugas medis baik dokter maupun perawat yang mengalami diskriminasi sosial akibat pandemi ini.
Terdapat kasus diskriminasi terhadap petugas kesehatan yang diusir oleh warga sekitar tempat tinggalnya dan kasus lainnya yang menyebutkan ada petugas kesehatan yang diusir dari kosnya karena desakan pemilik kos. Alasannya tentu saja akibat stigma negatif yang dialami para petugas medis tersebut karena mereka dianggap membawa virus ketika pulang ke rumah tempat tinggalnya.
Kasus tersahih tentu saja aksi penolakan jenazah perawat yang meninggal akibat virus corona di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah pada 9 April 2020 yang lalu.
Dimana terdapat beberapa oknum yang memprovokasi warga untuk memblokade jalan masuk menuju pemakaman hingga petugas pemakaman yang hendak melaksanakan tugasnya merasa ketakutan dan membatalkan pemakaman di area yang telah direncanakan.
Kejadian ini sungguh menyayat hati, menyedihkan dan memilukan. Alasannya perawat tersebut selama ini aktif mengurus korban pendemi ini di salah satu Rumah Sakit di Jawa Tengah hingga terinfeksi positif virus corona dan meninggal dunia. Tak seharusnya pula, jenazah almarhum mendapatkan penolakan setelah perjuangannya selama ini yang berdiri dibarisan terdepan mengatasi korban pandemi ini.
Pasca mendapatkan informasi soal petugas kesehatan yang jenazahnya mendapat penolakan oknum masyarakat, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo secara sigap memutuskan kebijakan menyediakan lahan Taman Makam Pahlawan (TMP) bagi petugas medis yang meninggal akibat terinfeksi Covid 19.
Kebijakan Ganjar Pranowo ini tentu layak diapresiasi, bukan hanya karena keputusan yang diambilnya berkaitan dengan kekuasaannya sebagai gubernur. Namun secara moral, apa yang dilakukan Ganjar Pranowo menegaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empati dalam mengatasi dampak negatif secara sosial yang dialami oleh warganya. Apalagi di masa pandemi saat ini yang rentan terhadap kepanikan, kekalutan dan konflik sosial di masyarakat.
Covid 19 di Indonesia
Memasuki hari ke-41, sejak Indonesia mengumumkan kasus pertamanya pada 2 Maret 2020 lalu, persoalan Covid 19 telah memakan banyak korban. Menurut data dari situs resmi pemerintah di halaman www.covid19.go.id per tanggal 12 April 2020 menyebutkan terdapat 4.241 kasus positif, 359 orang sembuh dan 375 orang meninggal dunia.
Data ini dihimpun pemerintah pusat dari 34 provinsi yang mengumumkan kasus di daerahnya masing-masing, dengan sebaran 10 provinsi kasus terbanyak yaitu DKI Jakarta (2044 kasus), Jawa Barat (450 kasus), Jawa Timur (386 kasus), Banten (281 kasus), Sulawesi Selatan (222 Kasus), Jawa Tengah (200 Kasus), Bali (81 kasus), Sumatera Utara (65 Kasus), Papua (63 Kasus) dan Sumatera Barat (44 kasus).
Belajar dari kasus penolakan jenazah perawat korban infeksi Covid 19 di Jawa Tengah, setiap pemimpin di daerah sejatinya menerapkan kebijakan inovatif berbasi empati dalam mengatasi potensi konflik sosial. Utamanya untuk provinsi-provinsi di Indonesia yang telah banyak memakan korban jiwa, baik itu petugas kesehatan, masyarakat kelas atas, masyarakat kelas menegah hingga masyarakat kelas bawah.
Kepememimpinan Ganjar Pranowo
Ganjar Pranowo sudah membuktikannya kebijakan afirmatif dengan menyediakan lahan Taman Makam Pahlawan (TMP) di wilayah Jawa Tengah bagi petugas medis yang meninggal dunia. Tujuannya tentu saja berkatian dengan upaya mengatasi penolakan oleh oknum masyarakat terhadap jenazah korban virus corona.

Secara semiotik, apa yang dilakukan Ganjar Pranowo juga menegaskan bahwa para petugas medis yang gugur saat bertugas menangani virus corona merupakan pahlawan bagi kemanusiaan, yang harus pula mendapatkan penghormatan setinggi-tingginya atas kontribusi dan komitmennya terhadap mengatasi korban pandemi ini.
Jika kita hubungkan dalam Teori Kepemimpinan, kebijakan Ganjar Pranowo menangani pandemi ini masuk dalam ciri kepememimpinan transformasional. Burns (1978) yang pertama kali memperkenalkan model kepemimpinan transformasional yang mentautkan relasi pemimpin dan pengikut untuk saling meningkatkan motivasi diri satu sama lain.
Pemimpin transformasional selajutnya merupakan proses mewujudkan cita-cita bersama dengan berlandaskan moral serta memberdayakan tim untuk menghasilkan perubahan mendasar yang menekankan komitmen, kinerja, dan moralitas.
Selanjutnya, melalui kepempimpinan transformasional pula Ganjar Pranowo menginspirasi dan membangun kepercayaan kepada bawahannya untuk menciptakan komitmen baru dalam mengatasi pandemi ini.
Alasannya dengan posisinya sebagai Gubernur Jawa Tengah, kebijakannya ini akan diikuti oleh perangkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dari tingkatan sekretaris daerah, kepala-kepala dinas hingga eselon-eselon di lingkungan pemerintah provinsi.
Tidak hanya itu saja, teladan Ganjar Pranowo akan menginspirasi banyak kota/kabupaten di Jawa Tengah untuk menerapkan kebijakan serupa bahwa moral dan empati merupakan bagian utama dalam kebijakan yang akan diputuskan pemko atau pemkab di daerah yang dipimpinnya.
Pun jika abstraksikan secara kontemporer bahwa indikator keberhasilan sebuah daerah dalam menjalankan visi, misi dan program pemerintahannya tidak bisa dilepaskan dari kemampuan seorang pemimpin dalam memberikan teladan bagi seluruh bawahannya.
Melalui kepemimpinan transformasional, Ganjar Pranowo menjadi teladan bagi masyarakat Jawa Tengah dalam membangun kepercayaan, kekaguman dan motivasi yang berdampak pada tumbuhnya rasa optimisme sebuah daerah mampu mengatasi pandemic Covid 19 yang menyebar secara eksponensial ini.
Ganjar Pranowo secara moral kepemimpinan juga telah menciptakan perubahan dan tindakan organisasi yang signifikan karena menyentuh perasaan banyak orang. Alasan lainnya tentu saja karena kebijakan tersebut dilakukannya secara transparan dan akuntabel dengan memanfaatkan jaringan media sosial, seperti; facebook, twitter, instagram dan youtube hingga media-media konvensional yang bisa diakses oleh banyak orang.
Hal ini menjadi amat penting karena kebijakannya, soal menyediakan Taman Makam Pahlawan (TMP) bagi jenazah petugas kesehatan korban pandemi telah menginspirasi banyak orang untuk ikut berempati termasuk menjadi contoh yang baik bagi banyak wilayah di Indonesia yang mengalami persoalan serupa.
Jika pada akhirnya ada politisi lain yang merespon sinis kebijakan Ganjar Pranowo dengan mengatakan hal tersebut adalah bagian dari pencitraannya menuju Pemilu 2024. Tentu tidak menjadi persoalan, disamping karena pilpres masih sangat jauh dan tidak relevan pula bicara mengenai politik praktis di masa pandemi seperti ini.
Jika terus dipaksakan untuk mengugat kebijakan Ganjar Pranowo ini, rakyatlah yang melihat dan menyaksikan bagaimana kepala-kepala daerah di Indonesia bekerja di masa krisis. Rakyat yang memilih, rakyat yang berdaulat dan rakyat yang merasakan.
Artinya bagi pejabat dan politisi yang tidak serius bekerja dalam mengatasi pandemic di Indonesia, rakyat pula yang akan menghukum dengan tidak memilih mereka di pemilu mendatang.